Thursday, August 30, 2012

[Photos] Various

Color edited, red nuance.

Suatu hari libur, masih pagi dan udara begitu dingin, saya diajak okaa-sama untuk jalan-jalan di sekitar rumah. Melihat-lihat rumah yang sedang dalam proses pembangunan tepat di belakang rumah saya. Mengamati tanaman punya okaa-sama yang cukup rimbun di halaman rumah. Nah, saat mengamati itulah saya menemukan rumpun anggrek tanah yang bunganya sudah banyak--ungu, anggun, cantik sekali. Sebagai penyuka anggrek, tentu saja saya berlama-lama di depan rumpun tersebut. Kemudian saya menemukan, bahwa di beberapa tangkainya terdapat tonjolan hijau. Setelah diamati lebih lanjut, dan dinalar, barulah saya sadar...

Itu buahnya.

Penasaran sekali saya waktu itu, belum pernah melihat buah dari anggrek tanah secara detail. Jadi saya petik beberapa, dan saya bawa masuk. Saya langsung menyiapkan selembar tisu, cutter, serta kaca pembesar milik otou-sama.

Pertama-tama saya teliti struktur dan tekstur luarnya. Setelah puas, saya potong melintang salah satu buah. Buah yang lain saya potong membujur. Ternyata isinya seperti serat yang pendek dan halus, hampir seperti serbuk. Baunya agak gimana gitu. Warnanya kuning pucat.

Hmm. Entah kenapa, saya merasa seperti 'anak Biologi banget'. Hihi.

Color-edited to sharpen colors a bit

Sewaktu masa puasa, sudah jadi kebiasaan saya untuk membatu okaa-sama menyiapkan takjil untuk kita sekeluarga. Suatu hari, menu minumannya adalah es cincau yang juga diberi nata de coco. Cincau yang warnanya hitam mengilat dicampur dengan nata de coco yang putihnya kenyal, perpaduan warnanya bikin saya tertarik. Imut sekaliii!

Color-edited, sephia mode
Onee-sama diterima di Universitas Airlangga. Salah satu persiapan untuk ospek adalah menghapalkan Hymne Airlangga serta Mars Airlangga. Berhubung okaa-sama dan otou-sama lulusan Airlangga, keduanya pernah hapal lagu-lagu tersebut. Nah, okaa-sama bilang, "coba sini ibu carikan buku wisudanya ibu dulu, di situ ada lirik lengkapnya."

Sebetulnya, cari di internet pun dapat, jadi saya dan onee-sama bilang tidak usah. Namun rupanya okaa-sama memang ingin membaca-baca buku itu lagi, jadi tetap saja dicari. Setelah, entahlah berapa hari, akhirnya okaa-sama mengacungkan sebuah buku tipis dengan senyum bangga, dan berseru, "Ketemu!"

Wow. Saya ikut membaca buku tersebut, dan hanya bisa terkagum-kagum. Itu buku wisuda tahun 1988, pemirsa! Sudah 24 tahun umurnya. Dan kondisinya masih bagus sekali. (Mungkin karena tidak pernah dibuka, cuma disimpan saja)

Ternyata... di belantara dus-dus sisa pindahan lima tahun yang lalu, masih tersimpan harta karun.

Fujo Desire

[Title isn't intented to offend. Cuma dirasa pas aja.]

Tahu nggak? Di kelas saya ada beberapa pasangan shou-ai. Yaoi. BL. Whatever. Pokoknya pasangan cowok dengan cowok.

Tunggu, mereka masih straight, tapi sukaaa banget beraksi lovey-dovey sesama cowok. Dan saya, yang notabene punya jiwa fujo sebanyak 0,001% (oke,  saya mengakui ini. Saya akui, tapi tidak menerima komentar lebih lanjut) tentu saja... ehem, menikmati. Aksi mereka tuh kadang gokil banget, sampe yang hardcore gitu pernah lho. Kalau nggak salah, waktu itu saya jejeritan. Entahlah, mungkin di luar saya kelihatan jijik(?) tapi aslinya di dalam................. cough.

And I notice, ada satu cowok yang punya banyak 'pemuja'. I notice him, as the ultimate seme.

Dia itu cool (walopun, akui sajalah, sangat gokil karena sampai bisa beraksi BL di kelas). Orangnya tinggi, tegap, rambutnya cepak-hampir-botak dan dia ikut ekskul silat (entah apa hubungannya, cuma mau nambahin aja). Suaranya dalam. Kalau diam tanpa senyum, mukanya rada sangar.

Naaah, anak ini, let's call him W, benar-benar ultimate seme. Lebih dari dua anak cowok lain suka nempel-nempel sama dia, what you call 'seductively', sambil senyum-senyum gitu. Tapiii, si W ini tetep stay cool, pemirsa! Digelayuti gitu, dia santai. Hampir tidak mengindahkan. Seakan-akan it's very natural to have his uke clinging all over him that he gets bored.

Buset.

Selain si W ini, ada beberapa uke-seme lain sih. Tapi mereka nggak stand out dibandingkan si W (dan para uke-nya). Though, BL show is daily entertainment for me. Tinggal ngeliat aja, kadarnya hardcore atau mild, tergantung tingkat insanity anak-anak pada hari itu. Lol.

[AND WHAT THE HELL AM I WRITING DOWN HERE, I'M PRACTICALLY LOSING MY MIND LOOOOL]
[And finally, I'm admitting my fujo side. Tapi pemirsa, kalau untuk animangame-movie-fanfic-dll, saya nggak dapet feel-nya. Entah kenapa cuma di RL saya merasa terhibur dengan BL. Mungkin, partially karena pelakunya adalah teman sendiri sehingga saya menganggapnya sebagai tingkah ngaco dari orang-orang gokil doang. Nggak serius kayak di fanfic gitu.]
[Dan kenapa saya terkesan membela diri begini, coba?]

Thursday, August 23, 2012

[Orific] Padang Ilusi

Ini cerita yang saya buat untuk majalah sekolah, meaning this is a re-publish~ Tema majalah adalah perayaan, makanya ini menggabungkan beberapa perayaan yang terkenal di dunia.
 
Padang Ilusi
Vianna Orchidia (c) 2011

Di dunia yang cemerlang ini, adakah sejumput gelap?
Di dunia yang gulita ini, adakah setitik cahaya?

.:.:.

“Riiiin!! Ayo siniii!”

Cewek dengan rambut dikuncir satu itu mendecak kesal. “Udah kubilang, nggak mau!” jawabnya keras. Tanpa menunggu balasan, ia langsung memutar tubuh dan berlari menjauh dari makhluk berisik yang selama ini mengaku sebagai teman dekatnya. Ukh, teman dekat apanya. Seharian ini kok kerjanya maksa terus. Yang nonton ini lah, yang lihat itu lah, sampai bosan Arina mendengarnya.

Setelah memastikan Kristin nggak mengikutinya, barulah Arina bisa menghembuskan napas lega. Dia nggak terlalu suka keramaian, makanya merasa sangat tersiksa dengan adanya festival sekolah kayak begini. Orang-orang yang berlalu-lalang tanpa henti membuatnya merasa gelisah. Arina akhirnya memutuskan untuk menghindar dulu dari segala hiruk-pikuk ini. Dia pun membawa langkahnya ke halaman belakang sekolah, tempat yang biasanya dihindari para siswa.

Entah kenapa, Arina justru suka suasana di halaman belakang itu. Lebih tepat disebut lapangan sepak bola sih, tempat tersebut dipenuhi rumput pendek dengan beberapa batang pohon besar di sisinya. Rasanya segar dan tenang. Untuk mencapai tempat itu, siswa harus melewati lorong sempit sepanjang dua meter. Agak tersembunyi dari lingkungan sekolah memang.

Arina baru saja menginjakkan kakinya di depan lorong itu, dan matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal. Seorang cowok berambut cepak bersandar di tepi lorong, dan saat Arina datang dia menoleh. Seakan-akan sudah lama menunggu Arina, dia langsung mengulurkan tangan. Senyumnya yang hangat menghapus keraguan di hati cewek itu. Rasa rindu yang tak tertahankan membimbingnya untuk berlari menyongsong si cowok.

[Orific] Sang Pencipta

Re-publish dari FictionPress. Yang terakhir deh..... .____.v

 
Vianna Orchidia (c) 2012
Sang Pencipta

"Bumi ini pun... semakin sakit, ya."

Wanita dengan rambut hitam menjuntai, panjang hingga mata kaki, berbisik pada dirinya sendiri. Di hadapannya adalah cermin tinggi besar, berbingkai ukiran paling rumit di dunia, terbuat dari kayu dan berhias emas. Dari dalam cermin itu ia menatap nanar sebentuk bola sedikit pepat berwarna biru dan hijau dan cokelat—terkadang titik-titik merah menyala pun terlihat di permukaannya.

Bumi. Bagian dari tubuhnya sendiri, bagian dari Sang Gaia.

"Oh, Uranus," desahnya pelan, suaranya tercekat hingga hampir tak terdengar. "Lihatlah, lihat apa yang dilakukan anak-anak manusia itu pada tubuhku. Rusak, sakit, tak lagi indah seperti dulu. Apa yang harus kita lakukan?"

Lelaki tampan, meski wajahnya telah diwarnai guratan usia, ikut memandangi Bumi di dalam cermin ajaib itu. Sorot matanya pun nanar, ikut merasakan pilu dan nyeri pada istrinya. "Gaia, istriku...," balasnya lembut. "Aku pun sudah mulai rusak. Langit tak lagi cemerlang, melainkan dipenuhi asap yang perlahan melubangi udara. Sudah sulit untuk mendapat angin segar seperti dulu. Rasanya tubuhku telah begitu kotor—kotor yang tidak mau hilang." Lelaki itu tersenyum simpul. "Tapi tidak ada yang bisa kita lakukan. Tugas kita hanya membentuk, mengatur agar bisa ditempati. Dan setelah manusia pertama memasuki Bumi serta langitnya... tugas kita selesai. Tinggal mengamati."

"Aku tahu, Uranus... tapi tidakkah mereka sadar, bahwa menyakiti Bumi juga menyakiti diri sendiri? Bumi adalah bagian dari tubuhku, manusia pun bagian dari hidupku... Apakah anak-anak itu demikian bodoh?"

"Mereka hanya tidak sadar, Gaia. Mereka tidak tahu dari mana mereka berasal, karena itu mereka bisa bertingkah semaunya. Tapi lihatlah...," Uranus menunjuk satu bagian dari Bumi, di mana manusia-manusia tengah berkumpul, menanam pohon di lahan gundul. "Tidak semuanya tenggelam dalam ketidaksadaran. Masih ada yang mau membuka mata."

Setelah terpaku beberapa saat, sudut bibir Gaia tertarik, membentuk seulas senyum yang begitu damai. "Benar. Kita hanya bisa berharap, bahwa semakin banyak manusia yang mau menyadarinya..."
"Bumi dan langitnya, kami serahkan pada kalian, anak manusia."

FIN
-04152012-

[Orific] Vigorous

Masih re-publish dari FictionPress. Enjoy~

Vianna Orchidia (c) 2012
VIGOROUS
Warning: no proofreading. This is almost-true story.



Satu hari lagi telah berlalu, heh?

Perempuan muda itu menatap langit kelam, langit tak berbintang yang memberi rasa tak nyaman. Walau angin dingin berusaha mengusirnya, tapi ia bergeming. Tak ingin mengalihkan pandangan dari sang horizon, tak ingin kembali ke dalam kamar yang berbau realita. Suara kodok dan jengkerik nun jauh di antara rerumputan juga tidak sanggup mendorongnya keluar dari lamunan yang panjang, dalam, tak berujung.

Dalam spiral otaknya, perempuan itu menemukan kata sakit. Di sebelahnya ada sedih serta duka. Susunan huruf yang mendeskripsikan keadaannya saat ini, meski di luar tidak ingin ia tunjukkan; tidak lewat kata, tidak lewat wajah. Ekspresinya sama seperti biasa, suaranya sama seperti biasa, pilihan katanya sama seperti biasa. Tapi isi hatinya, yang terdalam dan menyeruak berusaha keluar, penuh oleh ketiga kata tadi.

Suara lembut denting piano lah yang berhasil menyeretnya balik ke kenyataan. Dia beranjak dari jendela kamarnya, menuju ponsel yang menyala berdering-dering, memanggilnya, menyuruhnya sekali lagi berhadapan dengan masalah.

Meski raut wajahnya datar, namun kau bisa lihat sinar matanya—yang memang sudah redup—semakin kecil mendekati padam. Ia berdeham, berusaha menetralkan suara, sebelum memencet tombol hijau di ponselnya.

"Halo?" Ah, dia sukses menyuarakan gembira.

"Halo, Andien? Kamu nggak apa-apa kan, nak?"

"Iya, nggak apa-apa. Ibu sendiri gimana?"

"..." Hening. Perempuan muda itu menutup mata, seakan tubuhnya kini berada di dimensi lain, bersama ibunya di lorong rumah sakit, mendengar apa yang didengar ibunya dan melihat apa yang dilihat ibunya.

"Halo? Bu?"

Desahan. Suara bergetar. "Ayahmu drop lagi. Nggak tahu kenapa. Sekarang lagi di ICU."

Ah, terasa belitan di dadanya. Seperti ada yang mencekal jantungnya, mencubit paru-parunya, dan mencakar kulitnya. "Udah lama?"

"Yah, nggak juga..." Hening sekali lagi. "Ibu cuma mau ngabarin itu. Sudah dulu ya, Ndien. Nanti kalau ada perkembangan, Ibu hubungi lagi."

"Iya, Bu."

"Kamu yang hati-hati ya."

"Iya, Bu."

"Jangan lupa makan."

"Iya, Bu."

"Ya udah, nanti Ibu telpon lagi ya?"

"Iya, Bu."

Trek. Meski ponselnya sudah tidak mengeluarkan bunyi, dan layarnya kembali ke keadaan standby, perempuan itu masih memegangnya di dekat telinga. Masih berdenging. Tenggorokannya tercekat, sudah tak bisa lagi menyuarakan bohong. Dadanya juga masih sakit, tercabik, tertusuk. Sesak. Tidak kunjung hilang.

Perempuan itu sekali lagi menatap langit. Cakrawala yang mulai meneteskan air mata, sementara ia sendiri tidak bisa. Angin yang mulai membelai, merangkul tubuhnya, malah membuatnya bergidik tak nyaman. Suara hewan yang semakin menjauh, menimbulkan sepi tak terkira dalam relung hatinya.

Dia memilih untuk bergelung dalam kungkungan selimut, memejamkan mata untuk menyambut lelap.

Satu hari lagi sudah kulewati dalam dusta.
Bohong, karena aku bukannya tidak apa-apa.
Bohong, karena aku sebetulnya ingin menangis.
Bohong, karena aku sebenarnya hancur.

[Orific] Exorbitant

 Lagi nggak ada kerjaan. Re-publish orific yang ada di FictionPress ke sini ah~

Vianna Orchidia (c) 2012

EXORBITANT

Siang itu agak beda dari biasanya. Setelah pulang sekolah, aku masih harus mengikuti tambahan pelajaran dalam rangka persiapan lomba. Babak final lomba ekonomi yang aku ikuti sudah makin dekat sih, jadi guru ekonomiku pun ikut-ikutan intens memberi materi. Berkali-kali aku melirik keluar kelas, dan berkali-kali pula aku mendesah melihat halaman sekolah yang sudah sepi. Untunglah, Bu Indah sepertinya sadar kalau aku kurang berkonsentrasi mendengarkan instruksinya, jadi beliau memutuskan untuk mengakhiri tambahan pelajaran hari ini.
"Saya ngerti kalau kamu capek, Shin. Hari ini cukup sekian ya. Ingat, jaga kesehatan. Kami mengharapkanmu," ujar beliau sambil menepuk pundakku. Senyumnya ramah dan tipe keibuan banget, makanya aku suka sama beliau. Aku pun balas tersenyum dan menggangguk.

Bu Indah sudah keluar kelas saat aku membenahi barang-barangku. Dan saat aku akhirnya beranjak keluar dengan tas di punggung, aku sempat melihat mobilnya menderu keluar gerbang sekolah. "Tsk, aku yang capek kok Bu Indah yang pulangnya lebih cepet?" gumamku pada diri sendiri.

Aku memandang langit yang gelap. Aduuuh, kalau nggak cepat-cepat pergi, aku bisa kehujanan! Makanya aku berlari-lari kecil menuju lapangan parkir, di mana tinggal motorku berdiri tegak. Setelah memutar kunci kontak, aku langsung menyalakannya dan melaju. Tapi...

Takdir tak berpihak padaku hari ini.

Hujan tiba-tiba turun, langsung deras pula!

"Aaaa! Siaaal!" Tanpa daya aku terpaksa memarkir motorku di depan masjid sekolah, dan berteduh di sana. Aku menatap kesal bulir-bulir air yang menderu jatuh dari langit. "Kenapa harus hujan sekarang? Argh! Nggak bisa pulang deh! Kalo gini kan mending tambahan terus sama Bu Indah!" teriakku pada langit. Seperti orang gila saja.

Percuma marah-marah pada alam, pikirku. Aku pun memilih duduk, menopang dagu dengan kedua tangan. Nggak ada kerjaan, aku hanya menatap seluruh sekolah. Baru aku sadar, kenapa nggak ada orang sama sekali? Padahal biasanya sekolahku itu nggak pernah sepi. Adaaa saja kelompok-kelompok kecil yang bertahan di sekolah, entah untuk mengerjakan tugas ramai-ramai atau ada ekskul atau cuma bermain bola. Aneh deh. Aku mengingat-ingat, hari apa sekarang. Rasanya nggak ada sesuatu yang spesial deh.

Nah, whatever.

Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendeknya beberapa derajat di bawah jam tiga. Sudah jam segini? batinku.

"Ngapain ya...? Nggak bawa novel nih. Masa baca buku ekonomi lagi? Dih, amit-amit," aku berujar pada diriku sendiri. Toh nggak ada orang ini. Nggak ada yang lihat aksi gilaku yang bicara panjang lebar seorang diri.

"Mmm... Ngantuk..." Aku baru saja berpikir untuk merebahkan badan di lantai masjid yang dingin ini, saat mendengar denting alat musik dari balik suara hujan. Otakku langsung waspada. Ternyata sekolahku nggak 'sekosong' yang kukira.

Aku mendengarkan dengan seksama. Hujan sudah agak reda, jadi suara alat musik itu makin jelas. Ini suara gitar... dan indah sekali. Tipe permainan profesional lah. Dahiku berkerut sementara aku mempelajari nada-nada itu. Mungkinkah ini rekaman, yang disetel pakai komputer atau apa? Ah, nggak. Aku cukup yakin ini live.

Penasaran tingkat dewa menyelimutiku. Aku berusaha melacak arah sumber suara ini. Kanan, kiri? Setelah menoleh ke segala arah beberapa kali, disertai menajamkan pendengaran, akhirnya aku menyimpulkan kalau suara ini berasal dari lantai atas. Lebih tepatnya, di ujung barat balkon, dekat dengan kelasku. Kuputuskan untuk pergi mengeceknya.

Di sekolah yang teramat sepi ini, aku melangkah perlahan-lahan. Selain ingin menghindari percikan air hujan, aku juga nggak tega merusak nada-nada indah ini. ...oke, mungkin aku juga takut kepergok. Pokoknya, aku meminimalisir bunyi sepatuku, bahkan saat meniti tangga.

Sip, aku sudah sampai di lantai dua. Sekarang tinggal menoleh ke arah kanan untuk memastikan apakah deduksiku kali ini tepat. Yaaak, satu, dua, tiga...

—dan aku terpana.

Monday, August 13, 2012

Dear Mama

Break the eggs swiftly,
Whisk the cream gently,
Bask in the warmth of flame,
Vianna desu.

Well. The thing about Rose's father really consumed my attention that I forgot about this event. A particularly happy event. It happened a day before Rose's father's death. Ironic, I know.

So, 9th of August is my Mother's birthday. I've always wanted to give her something--and I decided I'd make a cake. Googling for some recipes, took one, studied it, and well--I said to myself, "This is it! Gonna make this."

The name's "Browned-Butter Cupcakes".

Saturday, August 11, 2012

Goodbye, Thank You

Death.

So close, yet if feels so far. Only when someone dear to you is stolen by it, you understand how fleetingly and dangerously close it is. Tears being shed, regrets being said, goodbyes being waved. Those, are all you can do once death has taken action.

And, I just had an experience about death.

Tuesday, August 7, 2012

[Poetry] Victory

Hello my friends,
You'll always be the champion in flash
Stay the way you are now
Because you are already the winner
Cry and strive and ring forever,
towards our victory in sight
Smile and laugh ans sing eternally,
for our victory in hands

-01082012-
A story in a whim to support my friends in deal