Friday, April 18, 2014

[Review] Lontara Rindu - S. Gegge Mappangewa


Lontara Rindu
Penulis : S. Gegge Mappangewa
Editor : Priyantono Oemar, Alif Supriyono
Penerbit : Republika
Tahun : 2012
Ukuran : viii + 342 halaman; 13,5 cm x 20,5 cm

Sinopsis:
Vito dan Vino, dua saudara kembar yang terpaksa harus terpisah karena perceraian orang tuanya. Vito tinggal bersama ibunya, sedangkan Vino dibawa ayahnya. Rindu yang membuncah membuat Vito harus mencari ayahnya di Perrinyameng, Amparita, belasan kilometer dari kampungnya di daerah pegunungan.

Ayah Vito pergi ketika Vito masih kecil. Beda keyakinan membuat kakeknya tak bisa menerima ayahnya, sehingga ibunya dulu harus mengorbankan kehormatan keluarga, kabur dari rumah demi ayah Vito itu. Vito adalah anak yang terluka dan ketika memasuki usia SMP ia kerap bertanya mengapa sang ayah meninggalkannya?

Inilah kisah pencarian sekaligus kehangatan keluarga siswa SMP itu di masa belianya di Cenrana, Panca Lautang, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, di masa kemarau panjang mendera. Di tengah upaya diam-diamnya mencari ayah, Vito dan teman-temannya mendapatkan ajaran moral islami dari Pak Guru Amin yang sering bercerita tentang kisah-kisah masa lampau yang tercatat di lontara. Namun di kemudian hari, Pak Amin harus menerima kenyataan pahit ketika warga menuduhnya telah menyebarkan fanatisme agama.

Berhasilkah Vito menemukan Vino dan ayahnya? Bagaimana nasib hubungan keduan orang tuanya? Masihkan ayah Vito menganut kepercayaan leluhurnya?

Kisah Vito dan kawan-kawan ini banyak menghadirkan tangis dan tawa dari awal hingga akhir cerita. Sebuah romantika hidup penuh makna dan inspirasi bagi kita pembacanya.

[Severe Spoiler Alert!]


Sebelum memulai racauan, saya ingin menyebutkan bahwa novel ini meraih gelar sebagai Novel Terbaik di Lomba Novel Republika 2012. Juri pada ajang ini terdiri atas Asma Nadia, Salman Aristo, dan Priyantoro Oemar—ketiganya telah memiliki nama yang cukup besar di bidang kepenulisan.

Dalam novel ini, pengambilan setting cerita saya nilai cukup unik. Desa bernama Pakka Salo yang berada jauh di pedalaman Sulawesi Selatan, bahkan akses angkutan umum ke kabupaten terdekat hanya tersedia tiga hari seminggu. Di desa ini, ada sebuah SMP yang baru dibuka, baru memiliki sembilan orang murid. Di bab 1, yang menjadi fokus pembahasan adalah seorang wanita berusia tiga puluhan yang mengajar di SMP tersebut, bernama Bu Maulindah.

Melihat latar yang seperti itu, saya bisa mengira bahwa novel ini sebelas-duabelas dengan novel Laskar Pelangi yang sempat menjadi bacaan sejuta umat (ternyata benar bahwa sastra itu bersifat secondary modelling system). Bedanya, kalau di Laskar Pelangi Bu Mus adalah guru idaman, Bu Maulindah di sini justru sebaliknya. Kerjanya hanya mengkhayal. Bagi saya, karakter ini sangat menarik. Dia memang selalu mengkhayal bisa kerja jadi sekretaris direktur, tapi khayalannya itu bukan tanpa dasar. Dia punya ijazah S1. Seorang wanita, dari tempat terpencil, berhasil lulus jadi sarjana. Bahkan di dalam novel itu sendiri disebutkan bahwa “Bu Maulindah adalah waga Pakka Salo satu-satunya yang berhasil mengenakan jubah kebesaran yang disebut toga wisuda” [hal.123]. Setelah itu, Bu Maulindah malah berhasil lolos beasiswa S2 ke Jepang. Menakjubkan sekali.

Ada beberapa makna yang dapat saya simpulkan dari satu karakter ini. Pertama, dorongan dari penulis untuk tidak takut bermimpi. Lihatlah, seorang pengkhayal yang berhasil keluar negeri dengan beasiswa. Ini menunjukkan bahwa seorang pemimpi yang di balik khayalannya itu tetap berusaha, akan bisa terbang lebih tinggi dari yang memilih untuk tutup mata tutup telinga. Kedua, berasal dari kampung tidak menutup kemungkinan untuk berprestasi. Dan terakhir, saya mengendus gerakan feminisme di sini. Sengaja penulis menciptakan karakter yang begitu luar biasa dalam mengejar mimpinya berjenis kelamin perempuan, untuk menyuarakan feminisme. Bahwa wanita tidak berada di bawah derajat laki-laki. Bahwa wanita lajang sampai umur tiga-puluh bukan suatu aib. Bahwa pendidikan adalah milik semua orang.

Sayangnya, Bu Maulindah yang begitu hebat ini (meskipun punya kebiasaan buruk yaitu mengkhayal tidak tahu tempat dan waktu) ternyata bukan tokoh utama. Protagonis utama di novel ini adalah Vito, salah satu murid Bu Maulindah. Di awal cerita ia adalah murid yang bandel, hobi telat, suka berbohong buat menutupi telatnya itu pula! Tapi dia disukai teman-temannya karena pandai bercerita.

Dalam perkembangannya, Vito menjadi anak yang lebih serius. Namun entah ini penyakit atau apa, saya tidak terlalu tertarik dengan tokoh utama. Pengembangan karakternya bagus, namun serasa masih ada yang miss dari bocah ini. Pergantian antara sisi bandel menuju sisi serius saya rasa terlalu cepat dan kurang memberi pembaca waktu untuk meresapinya. Mungkin penulis berharap untuk memunculkan kesan bahwa sisi Vito yang riang dan sedikit urakan hanyalah 'topeng' untuk menutupi sisi seriusnya yang merindu pada sang ayah, tapi eksekusinya sendiri kurang ciamik.

Selain tentang Vito, novel ini sempat memberi fokus pada tokoh-tokoh lain, seperti kasus Bu Maulindah di atas. Masih ada Irfan si teman sekelas, Pak Bahtiar sang kepala sekolah, sampai Pak Amin sang guru penjas yang jadi kesayangan murid-muridnya. Ada juga bab-bab yang berlatar waktu sekitar 14 tahun sebelum timeline asli, yakni tahun 1996, dengan tokoh utama Halimah dan Ilham.

Selain menceritakan perkembangan tokohnya, penulis novel ini dengan cerdik memasukkan unsur-unsur budaya lokal dalam tiap babnya, dan membuatnya sebagai latar belakang aksi yang diambil oleh tiap tokoh. Mulai dari sejarah, kondisi geografis, pandangan religius, dan budaya-budaya lain. Tidak jarang penjelasan tentang budaya lokal ini menghabiskan lebih dari dua halaman.

Sebetulnya, bukan hanya menceritakan tentang budaya setempat, tapi seluruh novel ini berisi tentang kritik sosial yang sangat halus mengenai hal tersebut. Misalnya tentang makam yang 'disakralkan' oleh warga, serta dijadikan tempat meminta 'pertolongan' dengan imbalan menyembelih sapi atau kambing. Di dalam novel memang hanya dijelaskan seperti apa bentuknya, seperti apa perlakuan masyarakat terhadap makam tersebut—namun dengan satu-dua kata saja, terlihat kesan bahwa penulis sangat mengecam hal tersebut. Inilah bagian yang paling saya suka dari novel ini: kritik sosial yang diselipkan dalam sastra. Membuat kita berpikir dua kali.

Dari segi alur, harus saya akui pembawaannya cukup menarik. Little things made up the big one. Banyak kejadian yang sepertinya tidak berhubungan tapi sesungguhnya kausatif. Saya pribadi suka bagian kebakaran kebun jambu mete milik keluarga Vito. Bagian ini memang singkat, tapi mengena buat saya karena di sini menunjukkan kesetiakawanan para pemuda SMP yang hanya bertujuh itu. (Or I just have a thing for fire and arsons.) Ah, seandainya bagian ini dibuat sedikit lebih panjang dengan menceritakan bagaimana tepatnya teman-teman Vito sampai ke dalam kebun itu.

Yang cukup saya sayangkan adalah bagian terakhir novel ini, di mana teman-teman Vito harus bertanding futsal semetara Vito dibawa ke Samarinda. Memang fokus cerita adalah Vito, tapi menurut saya usaha mereka main futsal patut diberi porsi yang lebih. Di novel, seakan-akan hanya diceritakan bahwa mereka datang, bertanding, kalah. Sama sekali tidak ada 'rasanya'. Lalu bagaimana dengan ibu Vito yang katanya mau ikut ke ibukota? Apakah beliau ikut hanya sampai Sidenreng, tapi tidak sampai Makassar? Atau sebenarnya ikut ke Makassar tapi tidak diperlihatkan? Ini plothole terbesar yang saya temukan di novel ini.

Lalu lebih ke belakang lagi, di penghabisan cerita, juga kurang sedap. Cerita berakhir hanya sampai Vito ingin pulang dari Samarinda. Lalu bagaimana dengan, lagi-lagi, ibunda Vito? Beliau bingung setengah mati karena anaknya hilang, lalu saat si anak akhirnya mau pulang, tidak diceritakan bagaimana reuni mereka? I don't think so, sir. Rasanya seperti cerita ini belum selesai! (Ada apa dengan saya dan unfinished stories...)

No comments:

Post a Comment