Saturday, April 5, 2014

[Review] Snow Country - Kawabata Yasunari


Snow Country: Daerah Salju
(Judul asli: 雪国 lit. Yukiguni)
Pengarang : Kawabata Yasunari
Penerjemah : A. S. Laksana
Editor : Gita Romadhona
Penerbit : GagasMedia
Tahun terbit : 2010 (cetakan kedua)
Ukuran : vi + 190 hal, 13 x 19 cm

Sinopsis:
Lagu pertama itu menyentuh sesuatu yang kosong di dasar perutnya, dan dalam kekosongan itulah suara shamisen bergema. Shimamura terkejut—atau, lebih tepat, ia terjengkang oleh sebuah pukulan telak. Terbenam dalam perasaan khidmat, dibasuh oleh gelombang penyesalan, tanpa daya, ia tak memiliki kekuatan lagi untuk melaklukan apa pun, kecuali menghanyutkan dirinya pada arus yang menyeretnya, pada keriangan yang dihadirkan oeh Komako kepadanya.

Di daerah bersalju yang selalu dingin itu, Shimamura bertemu Komako, seorang geisha yang pipinya sewarna angsa yang baru dibului. Tanpa ia sadari, Shimamura tahu Komako tengah jatuh cinta padanya, begitu pula sebaliknya. Keduanya berusaha menemukan pembenaran atas cinta mereka, hingga akhirnya menyerah dan menyadari kalau cinta mereka telah gagal sejak kali pertama mereka bertemu.

Peringatan! Possible spoiler ahead!


Bisa dibilang bahwa ini adalah sastra klasik terjemahan pertama yang saya baca. Kendala alih bahasa adalah fokus pertama saya ketika membaca novel ini. Memang sulit membawa keindahan kata-kata dalam satu bahasa ke dalam bahasa lain. Dalam bahasa Indonesia, novel ini memang indah, tapi ada rasa yang kurang di sana. Saya yakin dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Jepang, keindahan bahasanya berkali-kali lipat. Apalagi kalau mengingat bahwa huruf kanji bisa mengandung lebih dari satu makna. Ingin rasanya, kalau nanti kemampuan bahasa Jepang saya sudah lebih mumpuni, membaca novel ini dalam bahasa aslinya.

Saat membaca Yukiguni, sampai terakhir pun saya masih terombang-ambing dengan setting waktu yang dipakai. Saya tahu kalau cerita ini ditulis pada masa sekitar kemerdekaan Indonesia, yang berarti bukan zaman modern—tapi tiap ada kata telepon, taksi, dan sejenisnya, mau tidak mau yang saya bayangkan adalah setting yang lebih maju daripada seharusnya. Atau saya saja yang salah memahami kondisi negara Jepang di tahun-tahun itu? Entahlah.

Selain itu, ada beberapa bagian di mana cerita seakan progresif, padahal sebenarnya tengah membicarakan masa lalu (flashback). Mungkin ini dipengaruhi oleh bahasa Jepang yang kurang luas dalam masalah tense, tidak seperti dalam bahasa Inggris yang selain memiliki past tense, masih ada past continuous dan past perfect dan selanjutnya. Menerjemahkan dari bahasa Jepang sepertinya tidak semudah kelihatannya.

Masalah teknis lain yang saya temukan dalam novel versi terjemahan ini, adalah adanya istilah sanpaku yang kadang dipakai langsung, namun kadang diterjemahkan menjadi “celana gunung”. Inkonsistensi ini sedikit mengganggu pembaca (terlebih yang perfeksionis seperti saya).

Tampaknya sudah cukup panjang saya mengomentari masalah teknis penulisan dan penerjemahan. Sekarang waktunya sedikit (sok-sokan) menganalisis dari segi cerita.

Tema cerita ini klasik. Kisah cinta antara seorang lelaki beristri dengan geisha, saya kira adalah tema cerita yang cukup umum, bukan hanya untuk karya-karya masa itu tapi sampai masa kini. Namun mungkin yang membedakan adalah gaya penceritaan dan cara mereka berinteraksi. Dalam cerita ini, afeksi antara Shimamura dan Komako tidak vulgar. Justru disebutkan bahwa Shimamura sangat menghargai perbincangan mereka, dan justru tidak bernafsu pada geisha lain yang tidak secerdas Komako. Kedua orang ini tidak pernah mengucap cinta, namun rasa nyaman yang hadir tiap kali mereka bertemu itu rasa-rasanya sudah lebih dari cukup untuk mengetahuinya.

Walaupun saya sebut tidak vulgar (di mana tidak ada adegan berpelukan, berciuman, atau tidur bersama—setidaknya tidak pernah disebutkan secara eksplisit) tapi diceritakan bahwa mereka hampir tiap hari mandi bersama. Bahkan handuk dan peralatan mandi Komako ada di kamar Shimamura. Ini sedikit... aneh. Bagi anak muda tahun 2014, ini aneh. Tapi siapa yang tahu kalau hal ini biasa bagi masyarakat Jepang di masa itu? Toh referensi saya untuk hal ini cuma dari film Memoirs of Geisha, di mana geisha-geisha itu santai saja berendam bersama para lelaki sambil minum-minum.

Namun di hati terkecil saya, entah mengapa, saya punya perasaan bahwa tokoh utama wanita di sini bukan Komako. Justru Yoko, yang namanya disebutkan lebih dulu ketimbang Komako, adalah protagonisnya. Dia jarang muncul, tapi dari awal hingga akhir cerita dia selalu hadir. Bahkan bagi saya, peran Yoko menjadi esensi dari cerita Yukiguni. Lihat saja bagaimana pembicaraan Komako dan Shimamura bisa tiba-tiba dikaitkan dengan Yoko, bagaimana Komako langsung bereaksi sangat keras jika sudah membahas Yoko, dan bagaimana pikiran Shimamura bisa mengarah pada Yoko di titik-titik krusial cerita.

Peran Yoko yang tetap misterius, siapa dia dan apa hubungannya dengan Komako, juga apa influence yang dia miliki terhadap Shimamura dan Komako, menurut saya adalah fokus utama yang jauh terselubung di dalam cerita ini.

Or I mught just be delusioning.

Anyway, menurut saya penggambaran tiap karakter dalam kisah ini sangat menarik. Tidak ada yang sempurna—konsep mary-sue dan gary-stu belum ada rupanya di masa Kawabata Yasunari—dan ketidaksempurnaan itu tidak mengada-ada (tidak seperti tokoh-tokoh orisinil buat saya, uhuk).

Awalnya saya mengira Shimamura itu orang makmur. Ah, sebetulnya memang makmur sih, tapi di belakang, ternyata dia itu tidak bekerja dan hanya mengandalkan harta warisan orangtuanya saja. Pekerjaannya hanya menulis, dan entah apakah ia mendapat penghasilan banyak dari karya-karyanya. Kalau berdasarkan beberapa komik yang berlatar zaman perang yang pernah saya baca, memang di masa itu status keluarga sangat kuat. Suatu usaha/perusahaan adalah milik keluarga, maka biasanya dikelola secara turun-temurun. Terberkatilah mereka yang lahir di keluarga pengusaha kaya. Tokoh Shimamura juga menggambarkan dengan baik kebiasaan laki-laki yang suka memanggil geisha namun tidak pernah diprotes oleh istri sahnya. Sudah menjadi semacam rahasia umum di masa itu, tampaknya. Sekali lagi, berdasarkan film Memoirs of Geisha, memang para geisha dapat bertahan hidup karena mereka menikah dengan seorang lelaki yang menanggung biaya hidup mereka (yang mereka panggil danna-sama, lit. Tuan).

Sementara itu Komako adalah visualisasi dari geisha pada umumnya. Pandai bermain shamisen. Menghadiri perjamuan-perjamuan. Dia tidak digambarkan cantik, namun bersih. Tidak segan-segan Yasunari menuturkan dengan gamblang bagaimana gadis itu sedikit gemuk saat tidak banyak pekerjaan. Jelas tidak seperti masa sekarang, di mana putih dan kurus adalah stereotip untuk kata cantik. Menurut saya, melalui tokoh Komako kita bisa belajar mencintai kecerdasan lebih daripada kecantikan. Komako diceritakan sebagai gadis belia yang mudah mabuk. Menjadi geisha yang cerdas dan anggun (terlihat saat dia bermain shamisen untuk Shimamura) namun juga tomboi (terlihat saat dia sembunyi di lemari saat pelayan datang pagi-pagi ke kamar Shimamura, dan saat dia menerobos pepohonan untuk menyelinap masuk lewat pintu belakang penginapan). Saya tidak bisa tidak merasa senang pada tokoh yang satu ini. Wataknya yang ceria dan omongannya yang cerdik membuat saya berpikir, 'seharusnya gadis-gadis muda bersikap seperti dia ini! Ceria, jujur—betapa zaman telah banyak berubah!'

Tokoh Komako yang setengah mati jatuh cinta pada Shimamura sangat manis. Lihatlah betapa dia selalu datang ke kamar lelaki itu, meski hanya sebentar dan diisi dengan racauan tak jelas karena mabuk. Dia bahkan menyempatkan diri mengirim pesan melalui Yoko, mengabarkan jika ia sibuk dan mungkin tak bisa mampir, tapi pada kenyataannya toh dia tetap datang. Sungguh tipikal seorang gadis belia yang tidak ingin jauh dari orang yang ia cintai. Cara bicaranya yang kadang berputar-putar juga menunjukkan usianya yang masih muda, belum matang, belum berani mengungkapkan apa yang sebenarnya dia inginkan. Saya mencium gelagat tsundere tiap kali dia bersama Shimamura.

Sementara Yoko—lagi-lagi, dia menjadi enigma. Yang pasti gadis satu ini memang cantik. Sifatnya keibuan. Kalau Komako adalah personifikasi gadis belia di masa itu, maka Yoko adalah personifikasi wanita dewasa. Kalau Komako adalah contoh seorang geisha, maka Yoko adalah contoh perempuan biasa yang bekerja di sebuah penginapan. Menarik sekali, bagaimana kedua tokoh ini seakan-akan memang dibuat saling bernegasi.

Dari kacamata seorang mahasiswa yang belum terbiasa membaca sastra (terlalu banyak asupan fiksi pop, demi Tuhan), dialog dalam novel ini sedikit berputar-putar. Saya belum sampai ke tahap di mana saya bisa membaca between the lines. Tapi setidaknya saya bisa memahami beberapa dialog untuk tahu mereka lebih dari apa yang terlihat. Ada beberapa yang lebih lugas dari yang lain. Dialog yang paling saya ingat adalah ketika Shimamura mengajak Yoko ke Tokyo. Entah kenapa sisi lain dari seorang Yoko muncul di sana—sisi Yoko yang sudah muak dengan kehidupan di daerah bersalju tersebut tanpa Yukio.

Oh, lihatlah, setengah dari pembahasan saya berkisar di Yoko. Jelas sekali ada unsur bias di sini.

Novel Yukiguni ini memang menyenangkan untuk dibaca. Dalam tiap jengkal narasi maupun dialognya tersimpan keterangan budaya yang amat kental. Bahkan tidak bisa saya cantumkan di sini karena, ya, terlalu banyak! Ada di mana-mana. Yasunari sangat pandai memasukkan unsur-unsur kebudayaan tersebut dalam karyanya. Justru hal inilah yang, menurut saya pribadi, paling menjadikannya memorable.

Tapi! Saya tidak terima dengan ending cerita ini! Selama saya membaca Yukiguni, jujur saya merasa tidak menemukan klimaksnya. Hanya datar-datar saja (ada sih sedikit tanjakan, namun dengan indahnya tensi turun lagi). Nah, di beberapa halaman terakhir, saat kebakaran terjadi, saya mulai merasakan tanjakan yang bagus. Bahkan saya sudah bisa menebak kalau Yoko terlibat dalam kebakaran tersebut (ah, sedikit manfaat dari puluhan novel yang saya baca, menumbuhkan insting pengendus konflik). Tapi, sekali lagi tapi, dengan kejamnya Yasunari mengakhiri ceritanya di situ! Tepat di bagian ketika Yoko nyaris tewas (sepertinya) dan Komako histeris—bagian di mana saya merasa akhirnya bisa menguak masalah apa yang terjadi di antara kedua perempuan ini—novelnya habis. Tak ada lagi lembar yang bisa disibak.

Rasanya seperti naik roller coaster yang relnya habis di tengah tanjakan curam. Tensi yang terbangun apik, tiba-tiba melumer tak bisa dicegah. Oh Tuhan! Kisah ini belum selesai!


Catatan:
Mary-sue/gary-stu: istilah untuk tokoh dalam cerita yang terlampau sempurna (cantik/tampan, pandai, kaya, tidak punya kelemahan sedikit pun). Mary-sue untuk tokoh perempuan dan gary-stu untuk tokoh laki-laki.
Shamisen: alat musik tradisional Jepang yang bentuknya hampir seperti gitar.
Tsundere: terdiri dari kata tsun dan dere, memiliki makna bersifat sok tidak butuh padahal sebetulnya ingin, sok tidak peduli padahal sebetulnya suka. Istilah ini banyak dipakai oleh penggemar kartun dan komik Jepang.

No comments:

Post a Comment