Friday, June 13, 2014

[Review] Ja(t)uh - Azhar Nurun Ala

JA(t)UH
Pengarang : Azhar Nurun Ala
Penyunting : Abdullah Ibnu Ahmad
Penerbit : Azharologia
Tahun Terbit : 2013

“Aku tidak pernah mengerti konsep cinta yang ada di pikiran para penyair. Buatku, mereka adalah orang-orang gila. Cinta, tidaklah perlu kita maknai dengan kalimat-kalimat hiperbola. Ia sederhana. Awalnya ia ada sebagai rasa, lalu, bila kita berani, ia akan berkembang menjadi kata. Dan bagi mereka yang matang, ia akan terurai menjadi laku.”
--Warna, halaman 80--


Pertama-tama, perlu diketahui bahwa buku Ja(t)uh ini merupakan buku self-publishing oleh seorang Azhar Nurun Ala, yang sebagian besar isinya pernah dipublikasikan di blog pribadi beliau dan ditulis antara tahun 2011-2013. Merupakan sebuah kumpulan cerpen, puisi, maupun prosa-prosa ringan dengan tema besar cinta.

Sebagai penulis yang belum besar namanya, Azhar memiliki gaya bercerita yang cukup segar. Penggunaan diksi yang gaul saat membentuk dialog. Pembentukan kalimat yang memuja rima antar kata. Metafora-metafora yang bergulir dengan mudah di tiap jejaknya. Meskipun begitu, patut diakui bahwa penulisan seorang Azhar masih belum bisa dibilang matang. Masih butuh banyak pengalaman menulis. Masih butuh sederet editing.

Salah satu bagian yang membuat mata sakit adalah penulisan Azhar yang seringkali mengabaikan EYD dalam hal tanda baca. Lihat saja cerpen Biar Ia Terkembang Jadi Kata yang dipenuhi dengan dialog antara tokoh protagonis “aku” dan perempuan mantan kakak kelasnya di perguruan tinggi. Dalam tiap dialog, Azhar selalu 'lupa' membubuhkan tanda titik di akhir kalimat. Apakah mungkin ini hanya permainan sastra dari beliau? Atau memang menunjukkan ketidakpedulian beliau pada tanda baca di saat menulis karya tersebut? Jujur, saya merasa alasannya adalah yang kedua.

Selain itu, masih dalam cerpen yang sama, Azhar terlihat masih takut-takut untuk membuat dialog yang luwes. Sedikit-sedikit ada yang dicetak miring, menunjukkan bahasa tidak baku. Padahal menurut saya hal itu tidak perlu. Sastra punya tolok ukur sendiri. Tidak seperti karya-karya ilmiah. Atau sekali lagi, jangan-jangan Azhar sengaja membuatnya sedemikian rupa? Meskipun pada titik ini, saya kurang yakin kalau beliau akan 'mendandani' karyanya sedemikian rupa. Kesalahan-kesalahan teknis semacam itu masih terasa sebagai bukti nyata seorang penulis yang hijau.

Melepaskan diri dari maslaah teknis, kali ini saya ingin membahas bagaimana pilihan kata yang dipakai oleh Azhar dalam buku ini.

Di tiap judul, tidak pernah ada nama yang keluar. Hanya ada aku dan kamu. Kadang menyatu jadi kita. Menunjukkan betapa tulisan-tulisan ini sangat personal. Luapan perasaan sang penulis. Sekaligus membawa pembaca masuk dalam dunia beliau. Penggunaan aku dan kamu yang sangat personal di sini menguatkan perasaan bahwa semua yang tertulis di buku ini adalah murni milik sang penulis yang tengah jatuh cinta.

Puisi yang cukup menarik di buku ini salah satunya berjudul Tertawan.

Ada yang beku: bibir
Ada yang tertahan: nafas
Ada yang tak berkedip: kelopak mata
Ada yang berdegup kencang: jantung
Ada yang berdesir deras: darah
Ada yang tertawan: hati
Ada yang berhenti berputar: bumi
Ada yang berhembus pelan: angin
Ada yang hening berbisik: rerumputan

Ada yang jatuh cinta padamu: aku

Menggunakan kata-kata yang jujur dan sederhana, Azhar mempersembahkan gejala-gejala yang konon dialami manusia apabila tengah jatuh cinta secara lengkap—mulai dari perubahan fungsi kerja organ tubuh sampai lingkungan sekitar yang seakan mendukung fenomena jatuh cinta ini. Ditutup dengan pengakuan blak-blakan, puisi ini jelas menancap jauh di hati pembaca yang tengah kasmaran.

Namun kesederhanaan ini tidak selalu ada dalam tulisan Azhar. Jauh lebih banyak yang memakai metafora yang berhubungan dengan alam raya. Seperti dalam petikan prosa berjudul Remang berikut:

“Kamu malu. Untuk memejamkan mata pun kamu hampir-hampir tidak sanggup. Kamu terlalu malu pada gelap. Kamu malu pada matahari, yang setia mencintai bumi dengan jaraknya. Pada laut, yang setia mengikat janji dengan pantainya. Pada salju, yang tak pernah lepas berpeluk mesra dengan dinginnya. Kamu malu.”

Ada yang bakal bilang kalau ini puitis. Penulisnya pasti penyair tulen yang punya banyak perbendaharaan perandaian macam ini. Bagi saya, pertanyaan yang muncul. Kenapa Azhar sering sekali memakai perumpamaan bumi beserta segala isinya? Latar belakang agama, pendidikan maupun keluarga mungkin bisa memberi beberapa potongan puzzle yang saya cari. Alam mungkin memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap cara pikir seorang Azhar.

Secara keseluruhan, karya-karya dalam buku Ja(t)uh ini dapat dikatakan jujur terhadap perasaan penulisnya. Di beberapa bagian mungkin menggunakan perumpamaan atau plot yang fiktif, namun semua itu masih didasari oleh luapan perasaan sang penulis. Tema besar jatuh cinta berhasil ditangkap dengan indah oleh Azhar dengan gaya penuturan yang khas.

Dalam hidup, yang berhak jatuh hanya hati.”
Azhar Nurun Ala
-halaman 141-

No comments:

Post a Comment