Friday, June 13, 2014

[Review] Kokoro - Souseki Natsume

Kokoro
(Judul asli: こころ lit. Kokoro)
Pengarang : Souseki Natsume
Penerjemah : Edwin McClellan
Penerbit : Tuttle Publishing
Tahun terbit : 1969
Ukuran : viii + 248 halaman
Sinopsis:
Set in the turbulent Meiji era, a chance encounter on a Kamakura beach irrevocably links a young student to a man he simply calls “Sensei.” Intrigued by Sensei's aloofness and wanting to know more about him, the student begins to call upon Sensei with increasing frequency. Eventually, Sensei and his beautiful wife open up their home and their lives to him. The young student graduates from university and is called back home to his dying father, but the Sensei draws him back to Tokyo with a letter of heartfelt confession. ...
Written in 1914, Kokoro provides a timeless psychological analysis of one man's alienation from society, and starkly but gently shows the depth of both friendship and love.
[Spoilers ahead!]

Souseki Natsume adalah novelis paling terkenal di Jepang pada era Meiji. Kokoro (diartikan secara harfiah menjadi hati) dianggap sebagai salah satu karyanya yang terpenting selain Botchan (坊っちゃん lit. Botchan), I Am A Cat (吾輩は猫である lit. Wagahai wa Neko dearu), dan Light and Darkness (明暗 lit. Meian).

Novel Kokoro ini terbagi atas tiga bab: Sensei and I, My Parents and I, dan Sensei and His Testament. “I (aku)” di sini merujuk pada seorang mahasiswa universitas di Tokyo, yang tidak pernah disebutkan namanya. “Sensei” (diterjemahkan secara harfiah menjadi guru) juga tidak pernah disebutkan namanya. Kita benar-benar diajak melihat dunia melalui mata seorang “aku”, meskipun di bab terakhir “aku” berubah menjadi perspektif si “Sensei” karena kita seakan-akan membaca isi surat yang ditulis oleh “Sensei”.

Sesuai dengan sinopsisnya (. . . Kokoro provides a timeless psychological analysis of one man's alienation from society. . .), membaca novel ini harus dengan kepala bersih agar dapat memahami psikologi tokoh, tanpa ikut terseret ke dalamnya. Dalam bab satu sampai dua, aspek psikologis masih belum terlalu nampak, lebih kurang karena “aku” hanya memberikan observasinya terhadap sosok “Sensei”. Barulah di bab terakhir kita bisa melihat naik-turunnya psikologis “Sensei” dengan cermat.

Persahabatan dan percintaan. Souseki memainkan tema simpel berupa cinta segitiga di antara dua bersahabat dengan menekankan di sisi kejiwaan—yang bisa dibilang, tidak normal. Yang satu (“Sensei”) mengalami stres parah setelah kena tipu, sementara yang satunya lagi (“K”) stres parah setelah ketahuan bohong dan tidak dianggap anak lagi oleh orangtua asuhnya. Hadirnya “Ojou-san” dianggap sebagai malaikat penyelamat masing-masing. Membuat keduanya sama-sama jatuh cinta. Souseki berhasil memahami karakter “Sensei” dan “K” beserta segala ketidaknormalan psikologis mereka—berhasil menangkap perilaku-perilaku apa saja yang wajar dilakukan saat berada di bawah keadaan psikologis seperti itu.

Di samping itu, melihat hubungan “aku” dan “Sensei” juga cukup menarik. Kita bisa menyimpulkan bahwa di Jepang pada masa itu, memiliki seorang sosok yang menjadi panutan di luar lingkungan pendidik formal sepertinya adalah hal yang wajar. Semacam 'guru spiritual' mungkin, apabila disamakan dengan kultur Indonesia. Sosok guru ini, beserta keluarganya, sudah seperti keluarga kedua—mereka sering makan bersama, minum teh bersama, dan bercengkerama bersama. “Sensei” bahkan pernah menitipkan istri dan rumahnya kepada “aku” ketika beliau bepergian jauh, menunjukkan kadar kepercayaan yang tinggi secara kultural, meskipun secara personal “Sensei” digambarkan sebagai sosok yang tidak bisa memercayai orang lain.

“Sensei” yang mengaku bahwa ia membenci umat manusia secara keseluruhan ternyata masih sanggup menampung kehadiran seorang “aku”. “Aku” yang datang tanpa mengharapkan apapun kecuali bersama dengannya. Mungkin, pada dasarnya, manusia memang membutuhkan seorang kawan yang demikian—datang tak diundang, lalu tidak pernah pergi. “Sensei” memerlukan sosok yang tidak pernah mengenalnya di masa lalu agar bisa menjadi dirinya sendiri lagi (istilah bahasa Inggris yang tepat mungkin adalah clean slate). Bahkan istrinya sendiri sudah tidak cukup untuk peran ini, karena sudah terlalu lama mereka bersama, dalam kondisi yang sedemikian rupa.

“Aku” sendiri, bisa dibilang sedikit aneh karena ketertarikannya yang tiba-tiba terhadap seorang laki-laki yang hanya dilihatnya secara tidak sengaja di laut. Hanya seorang pemuda yang berada dalam fase tidak kenal takut yang sampai berani mendekati objek ketertarikan, dan itulah “aku”. Entah apa yang membuat pemuda yang berasal dari desa itu sedemikian tertarik pada laki-laki tersebut, hingga memanggilnya “Sensei”. Satu-satunya tebakan saya adalah “aku” tidak menemukan sosok yang bisa dijadikan panutan di dalam keluarganya. Disebutkan dalam novel Kokoro bahwa “aku” tidak merasa nyaman berada di kampung halamannya, di tengah-tengah ayahnya yang kelewat santai dan ibunya yang agak suka ikut campur. Di satu sisi, ini mungkin pola pikir yang telah terkontaminasi iklim perkotaan dan perguruan tinggi, namun di sisi lain perasaan itu sepertinya telah lama bercokol dalam hati si “aku”. Ditambah lagi, “aku” tidak dekat dengan kedua saudara kandungnya.

Yang patut dipertanyakan, jangan-jangan “aku” menemukan kemiripan antara “Sensei” dengan ayahnya ketika pertama kali melihat laki-laki itu? Diceritakan bahwa tiap inci dari “Sensei” selalu meneriakkan aloofness, tapi jangan-jangan itulah benang merah antara “Sensei” dengan ayahnya? Jangan-jangan itulah awal mula ketertarikan “aku”? Secara umum, manusia toh otomatis mencari dan merasa nyaman dengan orang yang memiliki kemiripan dengan anggota keluarga, terutama orangtua.

Secara umum, novel Kokoro ini menarik karena eksplorasi tokoh yang sangat mendalam, namun tidak meninggalkan yang namanya sudut pandang alias point of view. Masih pula dilengkapi dengan plot yang rapi. Tidak heran kalau Souseki menjadi sastrawan yang tersohor dari Jepang.

No comments:

Post a Comment