Wednesday, June 25, 2014

[Review] The Old Capital - Kawabata Yasunari


The Old Capital
(Judul asli : 古都 lit. Koto)
Pengarang : Kawabata Yasunari
Penerjemah : J. Martin Holman
Penerbit : Tuttle Publishing
Tahun terbit : 2000 (cetakan kelima)
Ukuran : vi + 164 halaman

Sinopsis:
The Old Capital is of one of the three works for which Yasunari Kawabata won the Nobel Prize for Literature. Set in Kyoto—the old capital of Japan for a thousand years—this lyric novel traces the life of Chieko, the beloved adopted daughter of a kimono designer and his wife. Believing that she had been kidnapped by the couple as a baby, Chieko learns one day that she was instead a foundling, left abandoned on a doorstep. Happy with her adopted parents, however, her security and contentment remain undisturbed until an answered prayer at the famous Yasaka Shrine dramatically alters the course of her life.

Novel ini masih sama seperti Snow Country dari Yasunari Kawabata – bahasa yang sederhana dan ringan, mudah dibaca serta luwes. The Old Capital menyajikan kisah tentang Chieko, putri pemilik toko kimono grosir. Chieko adalah gadis yang baik hati dan sederhana. Selalu berusaha membantu orang tuanya. Disebutkan bahwa Chieko tidak malu untuk memakai kimono-kimono yang didesain ayahnya atau kimono-kimono dari tokonya yang belum laku terjual. Sungguh seorang gadis yang manis.

Chieko juga bersikap sangat manis kepada Naeko, gadis dari desa yang ternyata adalah saudari kembarnya. Meskipun Naeko selalu bersikap merendahkan diri, bahkan memanggil Chieko “Miss” (nona), Chieko sendiri tidak pernah semena-mena terhadap Naeko. Justru ia berusaha membesarkan hati Naeko dengan memberinya kimono, mengajaknya menginap di rumah, dan sebagainya.

Interaksi saudari kembar ini, sedikit-banyak memberi insight terhadap perbedaan sosial yang ada di Jepang pada masa itu.

Sebagai anak dari keluarga pemilik toko kimono grosir, hidup Chieko layaknya tuan putri. Yah, tidak separah itu sebetulnya, tapi setidaknya Chieko memiliki hidup yang nyaman dan makmur. Seakan tidak ada masalah dalam hidupnya. Kecuali fakta bahwa Chieko ternyata bukan anak kandung orangtuanya. Ketika Chieko mengabarkan hal ini pada Shin'ichi, ketenangannya menunjukkan bahwa gadis belia itu sudah memiliki cara berpikir yang dewasa. Hampir aneh sebetulnya, Chieko mengatakan itu semua dengan kalem—terlalu kalem. Secara psikologis agak janggal. Satu-satunya penjelasan logis yang bisa saya temukan adalah: Chieko sudah memikirkan masalah tersebut berulang-ulang dan sudah belajar menerimanya dengan ikhlas.

Sebaliknya, Naeko dibesarkan di gunung. Setiap hari ia harus bekerja keras. Ditambah lagi, karena setelah orangtuanya meninggal dia 'dititipkan' di rumah orang lain, Naeko tumbuh menjadi gadis yang sedikit rendah diri. Semakin parah karena Chieko, saudari kembarnya yang terpisah sejak lahir, ternyata menjadi seorang 'tuan putri'. Terlihat jelas dia menganggap dirinya bukan apa-apa ketika diceritakan kebingungannya menghadapi lamaran dari Hideo. Dia terus-terusan menghilangkan eksistensi dirinya dengan mengatakan bahwa kasih yang dirasakan Hideo hanyalah ilusi. Ah, ini adalah bagian kesukaan saya. Bagaimana Naeko tidak kuasa menerima kebaikan serta kasih dari Chieko dan Hideo yang bertubi-tubi, membuat saya tersenyum penuh sayang. Kerendahan hati itu justru membuatnya jadi karakter yang sangat manis.

Lain halnya dengan karakter Ryusuke yang datang di penghabisan cerita. Karakter ini seperti, entahlah, pemutar arus. Datangnya tiba-tiba, namun langsung mengalihkan perhatian. Lampu sorot yang awalnya ada di Hideo, tiba-tiba teralih langsung ke atas kepala Ryusuke. Tidak memberi Shin'ichi waktu sama sekali (Shin'ichi, pemuda malang itu). Entah mengapa Ryusuke ini seperti enigma. Dia terlihat sangat dewasa. Pandai. Kualitas-kualitas calon menantu idaman. Dan sebagai putra dari keluarga pemilik toko kimono grosir juga, dia punya aura yang mirip dengan Chieko—aura seseorang yang hidupnya makmur. Namun karena laki-laki, dia belajar untuk meneruskan bisnis keluarga—untuk yang satu ini, berbeda dari Chieko.

Dari perbandingan karakter Ryusuke dengan Chieko, ada perbedaan gender role yang cukup menonjol. Apalagi jika melihat sebaris kalimat dari halaman 91 berikut:
Chieko's sadness faded. Perhaps it had not been sadness. Maybe it was the surprise, the puzzlement, the distress of meeting Naeko so suddenly. But perhaps it is a girl's fate to shed tears.”
Terasa saat membacanya—Kawabata Yasunari bukan feminis. Atau, justru ini cara beliau untuk memperjuangkan feminisme, dengan menunjukkan perbedaan dalam masyarakat tersebut?

Ciri khas lain Kawabata Yasunari dalam menulis adalah unsur setting kebudayaan yang sangat kental. Dalam novel ini, banyak kebudayaan khas Kyoto (“ibukota lama” yang dimaksud adalah Kyoto) yang dimasukkan. Bisnis kimono yang menjadi latar belakang karakter sentral pun merupakan salah satu wujud kebudayaan tersebut. Ada pula Gion Festival yang sangat tersohor bahkan hingga saat ini. Festival of Ages, Kurama Fire Festival, Daimonji Festival – banyak nama festival bertebaran di dalam novel ini. Tidak semuanya dijelaskan, tapi cukuplah untuk memberi aba-aba pada pembaca muda seperti saya dan kawan-kawan tentang kentalnya tradisi di Kyoto.

Secara keseluruhan, novel ini sangat menarik. Secara subjektif, lebih bagus daripada Snow Country. Dalam novel ini terlihat lebih jelas konflik dan inti ceritanya, dan ending-nya masih bisa diterima. Masih terlihat konklusi ceritanya. Tidak seperti Snow Country yang kemarin membuat saya frustasi dengan ending yang sangat-sangat-sangat cliffhanger, novel ini berhasil membuat saya tersenyum puas ketika menutup halaman terakhirnya.

No comments:

Post a Comment