Tuesday, August 12, 2014

[Fanfic] Puding Cokelat

Title: Puding Cokelat
Author: Vianna Orchidia / Annasthacy Chashyme
Rating: T
Genre: General
Summary: Tapi Rachel suka cokelat. Dia menyukai cokelat yang manis tapi masih punya pahit di dalamnya—membuat keseluruhan rasa tetap seimbang. Seperti hidup. / oneshot /
Warning: perhaps some OOC-ness
A/N: Sebuah fanfiksi untuk novel Prisca Primasari, Evergreen. Demi seluruh buku yang pernah saya baca, Yuya adalah salah satu karakter yang benar-benar bikin melting. I just have to write this. Ini diambil dalam canon-verse, tepat setelah kalimat terakhir bab 17.
Disclaimer: I don't own the Evergreen and the characters, and I receive no profit from this work.


-story start-

Satu lagi suapan puding cokelat. Manis, lembut, lumer di lidah. Rasa pahit samar baru menyebar ke seluruh rongga mulut saat dikunyah. Tapi Rachel suka cokelat. Dia menyukai cokelat yang manis tapi masih punya pahit di dalamnya—membuat keseluruhan rasa tetap seimbang.

Seperti hidup.

Saat ini, jujur saja Rachel merasa tengah berada dalam fase pahit roda kehidupannya. Pernah dia merasa hidupnya penuh kepahitan semata, tapi yang ini beda. Pahit yang ini adalah hasil adonan yang berisi penyesalan karena sudah berlaku bodoh, kesedihan atas satu bakat penulis yang meredup, serta keraguan atas benar-tidaknya keputusan untuk mengirimkan naskah mentah Akemi-san di lomba tersebut.

Perlahan Rachel merasakan gelombang baru air mata mengalir di pipinya. Beberapa tetes terlepas begitu saja, menitik di atas foto yang sejak tadi dia amat-amati.

Evergreen. Gamma. Fumio. Kari. Lalu... Yuya.

Entah kenapa melihat senyum mereka membuat dada Rachel sesak. Satu demi satu kisah masa lalu keempat temannya itu terbersit di benak. Dia pun teringat Toichiro-san yang selalu setia di kafe dengan buku Ryunosuke Akutagawa di tangan. Teringat Akemi-san, wanita rapuh yang hampir tidak bisa menatap suaminya sendiri di manit mata.

Sambil menangkupkan tangan di depan mulut, Rachel terisak pelan.

Larut dalam tangisnya—kapan dia terakhir kali meneteskan air mata sebanyak ini? Aaah, jangan-jangan saat tragedi pemecatan itu?—Rachel hampir tidak mendengar suara kunci diputar dan langkah kaki ringan mendekat. Saat dia mengangkat kepala, pintu dapur sudah terbuka, seorang lelaki berambut merah panjang membelalakkan mata.

Ojou-san?”

“Yuya-san!” sahut gadis itu, sama terkejutnya. Buru-buru dia mengusap mata dan pipi, meskipun dia cukup yakin Yuya sudah melihat jejak air mata di sana.

Untuk sesaat sang pemilik kafe tidak berkata apapun. Matanya yang dibingkai celak tebal mengamati gadis blasteran itu, semangkuk puding cokelat yang belum habis, dan dua lembar foto di hadapannya. Tatapannya paling lama berada pada sepasang mata biru yang bengkak dan memerah.

“Ehm, kenapa...,” Rachel berdeham sekali untuk menghilangkan serak khas pasca menangis di tenggorokan, “kenapa kau ke sini malam-malam begini?”

Yuya bergerak untuk duduk di samping Rachel. Seperti biasa, posisi duduknya terbalik dengan sandaran kursi menghadap dada. “Aku lupa kalau belum memeriksa buah untuk persediaan besok. Waktu sampai, ternyata lampu dapur masih menyala dan ada suara-suara aneh dari dalam. Kau membuatku takut, tahu.”

Rachel merasakan pipinya menghangat saat pemuda itu menyebutkan 'suara-suara aneh'. Apakah tadi dia terisak sekeras itu? Ditambah lagi, ini Yuya! Kenapa harus Yuya yang datang dan menemukannya menangis separah ini? Rasanya dia ingin masuk ke dalam lubang terdekat, atau memasukkan kepala ke dalam lemari es. Lebih bagus lagi kalau punya alat pengontrol memori seperti di film Men in Black.

Ojou-san,” panggil Yuya. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Tahu pertanyaan itu akan muncul cepat atau lambat, Rachel merangkai jawabannya hati-hati. “Aku... sedang tidak ingin pulang. Jadi kupikir, aku bisa menginap di sini untuk semalam.” Semua karyawan memang memegang satu duplikat kunci kafe.

“Hei, hei, dapur Evergreen bukan tempat yang bagus untuk menginap,” ujar pemuda itu riang, senyumnya jahil. Namun ketika Rachel tidak menjawab, bahkan sekedar mendelik seperti biasanya pun tidak, sudut bibirnya turun lagi. Dia bertanya pelan, “hari ini, kau menemui istri Toichiro-san, bukan?”

Rachel mengangguk, tatapannya masih tertuju pada puding cokelat yang manis tapi pahit. Tadi pagi, sebelum menuju ke kediaman Toichiro-san, Rachel memang memberitahu Yuya lewat telepon, sekaligus menolak ajakan pemuda itu untuk ikut mengunjungi Kari.

“Bagaimana hasilnya?”

Sebelum menjawab, Rachel menarik napas panjang. Ini akan menjadi kisah yang panjang, pikirnya. “Aku berhasil membujuk Toichiro-san untuk membawaku ke rumah Akemi-san. Tapi dia—Akemi-san...,” napas gadis itu tercekat. “Dia menolakku mentah-mentah. Dia berulang kali mengatakan bahwa dia sudah tidak bisa menulis lagi. Bahwa dia memang tidak punya bakat untuk menulis.”

Merasakan tirai bening yang mulai melapisi bola matanya, Rachel berhenti sebentar untuk mengontrol emosi. “Sayang sekali, padahal menurutku Akemi-san berbakat. Kau sudah membacanya juga—novel buatannya sangat menarik. Dan bakat itu hancur karena ulahku.

“Tapi,” gadis bermata biru itu menurunkan volume suaranya secara drastis, menjadi sebuah gumaman pelan. “Tapi yang paling menyedihkan adalah: kebodohanku sudah memisahkan dua orang yang saling mencintai.”

Yuya mendengarkan dalam diam. Kalimat terakhir Rachel membuat benaknya menerawang jauh. Dia bisa mengingat jelas masa-masa di mana Toichiro-san masih datang ke kafe bersama istrinya. Mereka tampak bahagia. Dan saling mencintai sepenuh hati. Ketika Toichiro-san mulai datang seorang diri, auranya berubah seratus delapan puluh derajat. Rachel benar, itu menyedihkan.

“Lalu apa yang akan kau lakukan dengan naskahnya, Ojou-san?”

Rachel mengerjap. “Oh, itu? Aku sudah mengirimkannya ke Dengeki Novel Prize.”

Hening.

“Kau apa?!” seru Yuya. “Tapi, bukannya Akemi-san menolak menulis lagi?”

“Memang. Kukirimkan naskah mentah itu.”

“Bukankah kemarin catatan revisi darimu banyak?”

“Memang. Tapi tetap kukirim.”

Menyerah kalah, Yuya mengenyakkan tubuh ke kursi, pipinya dibiarkan menempel di sandaran kursi. Tiba-tiba saja sekujur tubuhnya terasa lemas. “Ojou-san, kau gila.”

Rachel mendengus untuk menyembunyikan senyum geli yang mulai terbit di bibirnya. “Aku tahu. Aku juga tidak yakin kenapa aku melakukannya.”

Tidak ada lagi yang bicara setelah itu. Rachel kembali meraih sendoknya dan melahap puding cokelat itu—entah bagaimana terasa lebih manis dan lembut, seperti hatinya yang tak lagi terasa berat setelah bercerita pada pemuda bercelak itu. Sementara itu, Yuya kembali mengamati gerak-gerik nona muda yang sudah berhasil mencuri hatinya.

“Kau tahu, Ojou-san,” ucap Yuya tiba-tiba, mengundang Rachel untuk menoleh menatap mata cokelatnya. “Masalah novel memang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Tapi masalah Toichiro-san dan istrinya, dari sini kita biarkan saja. Kalau mereka memang saling mencintai, mereka akan memperbaiki hubungan mereka sendiri. Apa yang kau lakukan sudah cukup. Dulu, Toichiro-san bahkan tidak mau menemui Akemi-san sama sekali—atau sebaliknya. Jadi kalau tadi dia sudah mau mengantarmu ke tempat istrinya, itu sudah kemajuan.

“Kau sudah bekerja keras—kau memberikan yang terbaik. Itu membuatku bangga. Kelak kau akan mendapatkan yang terbaik pula.” Pemuda itu tersenyum lebar.

Rachel terpana. Baru kali ini ada yang memujinya setulus itu. Mau tak mau dia teringat perkataan Yuya malam itu, di apartemennya. Sesederhana itu. Kalau kau memberikan yang terbaik, kau akan mendapatkan yang terbaik juga. Dengan senyum tipis, gadis itu mengangguk.

Terima kasih...”

-fin-

A/N #2: I'm glad I did it. A little tribute for my favorite authoress, Prisca Primasari. Ah, saya harap saya mendapatkan karakterisasi yang pas. Satu keinginan saya yang tidak tercapai dari cerita ini adalah adegan Yuya memanggil Rachel “Rashieru-chan”. Tidak ada tempat yang pas untuk momen ini. Padahal saya suka sekali cara Yuya mengucapkan Rashieru-chan—seperti panggilan sayang yang imut. (dan saya menulis kalimat ini seakan-akan saya bisa mendengar/melihat Yuya mempraktekkannya... sasuga the power of imagination.)

-omake-

Seakan menyadari sesuatu yang penting, senyum Rachel langsung lenyap. Matanya menyipit dalam sebuah delikan yang ganas untuk Yuya. “Hei, tunggu dulu.”

Hmm? Ada apa, Ojou-san?”

Apa maksudmu 'membuatku bangga', hah?! Memangnya kau ibuku?!” gadis itu menyalak galak.

-omake #2-

Rachel menyendok potongan terakhir puding cokelat yang tersisa. Suaranya seperti menerawang, ditujukan lebih kepada diri sendiri saat berkata, “kira-kira hal terbaik apa yang bisa kudapatkan, ya?”

Sendoknya yang masih berada di perjalanan menuju mulut terpaksa pindah haluan ketika tangan besar Yuya memegang pergelangan tangan Rachel, lalu mengarahkannya ke dirinya sendiri. Dengan gerakan dilebih-lebihkan, Yuya memasukkan potongan terakhir itu ke dalam mulutnya. “Hmm, misalnya... Jodoh yang super tampan sepertiku?” ujarnya setelah menelan puding dengan mata cokelat mengerling nakal.

Bahkan setelah pergelangan tangannya dibebaskan, Rachel masih membatu dengan sendok di udara. Entah mana yang lebih membuatnya syok: indirect kiss dengan Yuya melalui sendok itu, kata-kata menggoda dari Yuya, atau kenyataan bahwa pemuda itu sudah merampas puding terakhir kesukaannya.

-omake fin-

A/N #3: YES I MANAGED THAT FLIRTY YUYA WITH INDIRECT KISS WOOHOOOO! MISSION ACCOMPLISHED!

No comments:

Post a Comment